Meluasnya wilayah dakwah Islam tak lepas dari peran para panglima Islam. Dengan keberaian, kecerdasan dan semangatnya, mereka berhasil menaklukkan daerah-daerah baru dan tunduk kepada aturan Islam. Siapa saja mereka? Berikut diantara para panglima itu.
‘Uqbah bin Nafi’
‘uqbah bin Nafi’ dikenal pemuda pemberani dan cerdas dalam strategi dan taktik militer. Melihat kemampuan itu, Khalifah Mu’awiyah memberikan amanat kepada ‘Uqbah untuk memimpin tentara Islam menaklukkan wilayah Afrika.
Bersama 10 ribu pasukan yang dipimpin ‘Uqbah berhasil melakukan ekspansi wilayah keuasaan Islam dengan menakulkukkan seuruh Afika Utara. Penaklukkan ini diawali dari wilayah Tunia. Di tempat ini, ‘Uqbah bersama pasukannya membangun sebuah kota yang dikenal dengan sebutan Qairawan (Kairouan). Oleh ‘Uqbah, Qairawan dijadikan pusat pemerintahan Islam di Afrika Utara.
Setelah mengusai Tunisia, ‘Uqbah menaklukkan Kur, sebuah wilayah di Sudan. Di bawah komandonya pula, pasukan Islam mampu melakukan ekspansi sampai ke wilayah Maghrib Tengah (Aljazair). ‘Uqbah dibunuh ketika dalam perjalanan pulang ke Qairawan selepas beliau melakukan pertempuran di Algeria Timur pada tahun 684 M.
Khalid Bin Walid
Sebelum masuk Islam, Khalid sempat menjadi panglima perang kaum Quraisy yang terkenal dengan pasukan kavalerinya. Pasca perjanjian Hudaibiyah yang terjadi pada 628 M, Khalid memutuskan masuk Islam. Tiga tahun berselang, untuk pertama kalinya ia bergabung dalam pasukan Islam dalam pertempuran yang cukup penting, yakni pertempuran Mu’tah.
Dalam pertempuran tersebut, ia menjadi prajurit bisaa bersama 3.000 pasukan Madinah lainnya menghadapi sekitar 200 ribu pasukan Romawi Timur. Di tengah pertempuran yang berlangsung selama tujuh hari ini, ia ditunjuk menjadi panglima karena tewasnya tiga panglima yang sebelumnya telah ditunjuk, yaitu Zayd bin Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib, dan ‘Abdulah bin Rawahah. Di hari ketujuh perang berakhir dengan mundurnya kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini, Khalid mematahkan sembilan pedangnya yang menunjukkan betapa sengitnya pertempuran antar kedua belah pihak.
Khalifah Abu Bakar ‘Ash-Ashiddiq kembali meminta Khalid memimpin 18 ribu pasukan Muslim untuk berperang melawan pasukan Persia. Pasukan Muslim yang dipimpinnya berhasil membuat pasukan musuh bertekuk lutut dan menguasai wilayah Persia.
Shalahudin Al’’Ayubi atau tepatnya Shalahuddin Yusuf bin ‘Ayub, terlahir dari sebuah keluarga di kota Tikrit (140 km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris pada tahun 1137 M.
Karirnya naik setelah tentara Zangi yang dipimpin oleh pamannya sendiri, Assudin Syirkuh, berhasil memukul mundur pasukan Salib (Crusaders) dari perbatasan Mesir dalam serangkaian pertempuran. Ia diangkat menjadi panglima dan gubernur (wazir) menggantikan mendiang pamannya.
Setelah wafatnya Sultan Nuruddin (659 H), Shalahuddin berhasil melebarkan sayap kekuasaan Islam ke Suriah dan utara Mesopotamia. Satu persatu wilayah penting berhasil dikuasainya: Damaskus (pada tahun 1174), Aleppo atau Halb (1138), dan Mosul (1186).
Pada 4 Juli 1187, Shalahuddin beserta pasukannya berhasil mengalahkan tentara Kristen dalam sebuah pertempuran di Hittin, Galilee. Dua bulan kemudian (Oktober tahun yang sama), Baitul Maqdis berhasil direbut kembali.
Thariq bin Ziyad
Para sejarawan mengatakan Thariq adalah bekas budak yang kemudian dimerdekakan oleh Musa bin Nushair, Gubernur Afrika Utara. Dan di tangan Musa ini pula ia memeluk agama Islam.
Musa kemudian mengangkat Thariq menjadi penguasa daerah Tanja, terletak di ujung Mroko dengan 19 ribu tentara dari bangsa Barbar. Sekitar bukan Rajb tahun 97 H (Juli 711 M), Thariq bin Ziyad mendapat perintah menyerang semenanjung Andalusia. Dengan 7.000 prajurit yang sebagian besar berasal dari bangsa Barbar, Thariq menyeberangi selat Andalusia yang mendarat di pantai karang yang kemudian dinamai Gibraltar, Thariq beserta pasukannya berhadapan dengan 25.000 prajurit Visigoth.
Saat itulah peristiwa terjadi. Thariq membakar semua kapal yang mengangkut pasukannya. Lalu ia menyulut semangat pasukannya untuk berani melawan pasukan musuh yang jumlahnya lebih besar. Dibakarnya kapal-kapal tersebut agar tidak ada seorangpun pasukannya yang mundur. “Wahai saudara-saudaraku, lautan ada di belakang kalian, musuh ada di depan kalian, ke manakah kalian akan lari? Demi Allah, yang kalian miliki hanyalah kejujuran dan kesabaran,” demikian petikan pidato Thariq di tengah pasukannya.
Pertempuran akhirnya dimenangkan oleh pasukan Muslim. Andalusia berhasil ditaklukkan. Thariq kemudian meminta tambahan pasukan kepada Gubernur Musa. Lalu dikirimlah 5.000 prajurit yang sebagian besar berasal dari bangsa Barbar. Satu demi satu kota-kota di Andalusia berhasil diduduki tentara Thariq; Cordova, Elvira, Granada, Malaga, dan Toledo, yang saat itu menjadi ibukota kerajaan Visigoth. Antara musim semi sampai musim panas tahun 711 H, Thariq telah berhasil menguasai separuh wilayah Andalusia.
Muhammad Al Fatih
Muhammad Al Fatih lahir pada 20 April 1429 M atu bertepatan dengan tanggal 28 Rajab 833 H. Ia merupakan putra ke tiga Sultan Murab II. Semasa kecil, Al-Fatih termasuk anak yang manja dan malas belajar. Setelah ayahnya menghadirkan seorang guru bernama Syaikh Ahmad bin Ismail al-Kurani ia mulai belajar dengan serius. Setelah ayahnya wafat, Al-Fatih diangkat menjadi sultan pada usia 21 tahun. Ia memiliki cita-cita besar menaklukkan Konstantinopel.
Setelah melalui berbagai persiapan, akhirnya Al-Fatih beserta pasukannya tiba di kota Konstantinopel pada hari Kamis 26 Rabiul Awal 857 H atau 6 April 1453 M. Di hadapan tentaranya, Al Fatih berkhutbah mengingatkan tentang kelebihan jihad, kepentingan memuliakan niat dan harapan kemenangan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia juga membacakan ayat-ayat Al-Qur’an mengenai jihad dan Hadist Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kota konstantinopel. Ini semua memberikan suntikan semangat yang tinggi pada pasukannya.
Setelah melalui rangkaian peperangan, akhirnya cita-cita besar Al-Fatih terwujud. Di bawah kekuasanya nama Konstantinopel diubah menjadi Islambul yang berarti “Kota Islam”, tapi kemudian penyebutan ini bergeser menjadi Istambul seperti yang kita kenal sekarang. Sejak itu, ibu kota Turki Ustmani beralih ke kota ini yang kemudian menjadi pusat peradapan Islam selama beberapa abad.
SAHID | Oktober 2010 | Syawal 1431 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar