Kamis, 07 Oktober 2010

GURU DALAM KEMULIAAN


     Seorang guru agama terlihat sedang mengendalikan marah besarnya, karena seorang muridnya yang baru kelas dua SD belum juga menghafal Juz ‘Amma. Surat-surat pendek itu mestinya harus dihafalkan 2 bulan yang lalu, ternyata sampai hari ini belum juga hafal. Kemudian guru itu berkat, “Itu lihat teman-temanmu sudah pada hafal, kamu sendiri dan beberapa temanmu saja yang belum hafal.”
     Guru tersebut sudah lima belas tahun mengabdi, namun ia tidak pernah merasakan dan mengevaluasi pengalaman bahwa dinamika siswa selalu berubahan sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda di waktu, tempat, dan anak yang berbeda. Dia takut kehilangan jatidirinya sebagai seorang guru kalau murid yang diajarinya tidak pintar seperti kelas sebelah yang diajar guru lainya.
     Guru itu menganggap semua permaslahan siswa dapat diselesaikan dengan rumus umum, seperti penyelesaian rumus luasan pada dinding bidang empat persegi panjang. Dia tidak pernah menduga bahwa mencari luas daun jati dan luas sobekan kertas tidak dapat menggunakan rumus umum panjang kali lebar. Mungkin juga dia tidak pernah menduga bahwa penyelesaian linier hanya ada 10 buah dari jutaan permasalahan yang bersifat nonlinier. Mungkin juga si guru itu belum sempat merenung bahwa ada jutaan permasalahan di dunia yang hanya dapat diselesaikan dengan menggunakan metode case by case, bukan generalisasi atau linerisasi.

Pembelajaran di Luar Kelas
     Kasus lain misalnya tentang seorang siswa kelas satu SD yang terlihat mojok di sebuah ruangan. Anak itu tidak mau masuk ke ruangan kelas karena dia memiliki permasalahan di rumahnya, buku Bahasa Indonesianya dipinjam temannya dan belum dikembalikan. Dia ingin masuk kelas, tetapi takut dengan segala sesuatu, termasuk resiko dimarahi. Gurunya dikenal sebagai guru yang galak, dengan setelan muka yang sering dianggap sangar oleh para siswa.
     Sesuatu yang tidak ia inginkan betul-betul terjadi di pagi itu. Gurunya itu marah sambil mengatakan “Kalau kami besar mau jadi apa? Kalau kamu tidak mau belajar di dalam kelas kamu akan menjadi anak bodoh.” Ternyata menurut teori modern dunia pendidikan, proses pembelajaran di luar kelas banyak dikembangkan karena dirasa lebih variatif dan tidak membosankan.
     Di ruangan kelas 3 SD, seorang guru juga sedang marah karena salah seorang siswanya selalu membawa bola sepak ke dalam kelas, sehingga teman-temannya disinyalir terganggu. Guru itu memarahinya dengan kalimat hari-hari kamu hanya main bola melulu, nanti kalau besar kamu tidak akan jadi orang sukses”. Mungkin guru ini tidak kenal Podolsky, Fernando Torres, Wayne Rooney, dan Miroslav Klose yang pada saat main bola selalu ditonton lebih dari 500 juta orang termasuk para guru. Anak-anak yang senang bermain bola adalah bukan anak yang tidak pintar, mereka juga pantas menjadi orang sukses dikemudian hari.
     Amar adalah siswa kelas 4 SD, dia bosan di dalam kelas karena gurunya mempunyai kebiasaan baru yaitu membandingkan Amar dengan teman sebelahnya yang lebih pintar matematikanya. Dia dibenci oleh gurunya karena sehari-hari selalu melawak dan tidak konsentrasi belajar. Guru ini juga barangkali belum tahu gajinya Rowan Atkinson, pemeran Mr. Bean.
     Senasib dengan Amar, di adalah Widowati siswa kelas 5 SD di sebuah kota. Dia tidak disenangi oleh gurunya karena selalu mendebat semua perkataan gurunya, sehingga dia sering diusir keluar dari kelas. Pak Joko guru kelas 6 sering bercerita kepada teman seprofesinya bahwa ada seorang siswanya yang setiap harinya memukuli mejanya dengan benda apa saja, dia tidak suka mengerjakan matematika. Pak Joko sering marah karena dia harus dituntut oleh para orang tua siswa agar semua siswanya lulus UASBN dengan nilai 10.
foto : SD Muhammadiyah 2 Denpasar
Sempurna dan Mulia
     Dalam kasus-kasus di atas hanya ada dua variabel yang dapat dianalisis yaitu guru dan siswa yang mendominasi dinamika kelas secara penglihatan mata, namun jika diuraikan secara lebih detail akan melibatkan puluhan variabel baru yang saling berhubungan erat. Seorang guru adalah wiji pinilih (benih pilihan) yang harus selalu limpad ing pambudi (pintar mengolah hati) dengan kondisi dan situasi apapun. Dia harus tiba di sekolah sebelum siswanya datang, dan dia harus pulang setelah siswa pada pulang. Dia harus menjadi penyejuk pada saat siswa mengalami kecemasan. Dia tidak boleh menambah permasalahan yang dialami siswa dan dia harus dapat mengelarkan empatinya dengan akhlak yang mulia saat siswanya bersedih. Dia harus sudah mulai belajar memahami anak dengan tidak hanya menggunakan kaca mata kuda yang hanya tahu dari saru sisi variabel dan mengabaikan variabel lain yang justru seharusnya lebih dominan.
     Masalah anak (siswa) sangat kompleks, multidimensi, dan yang tidak dapat dilupakan bahwa siswa mempunyai seribu bahkan sejuta pilihan masa depan. Di sini peristiwa interkoneksi yang harus terjadi adalah antara guru dan siswa dalam bersinergi, yaitu guru professional dengan siswa yang harus berkembang dengan alurnya. Marah, kecewa, menyesal, putus asa, jenuh, dan menyerah adalah sebuah derau (noise) dalam sebuah sistem proses didik-ajar yang tidak disengaja kadang-kadang melekat pada seorang guru.
     Memang betul bahwa guru adalah juga manusia biasa yang tidak sempurna, tetapi guru adalah sumber ilmu yang harus tetap dituntut oleh sistem untuk berkarakter sempurna (perfectness). Guru dituntut untuk memahami sistem secara baik, ke samping, ke atas, dan juga ke bawah. Guru apapun harus memahami perkembangan anak (pertumbuhan secara fisik dan juga psikologis) dengan baik dan juga harus memahami lingkunganya dengan seksama. Tidak dapat digunakan sebagai keputusan untuk dijadikan guru agama jika hanya karena pintar membaca tulisan arab dan hafal banyak hadits, tetapi tidak memahami ilmu tentang anak dan cara mendidiknya. Tidak harus menjadi keputusan yang tepat jika hanya mengangkat guru-guru ICT yang karena hanya menguasai intel processor i-3, tetapi tidak memahami dinamika anak didik dan learning process.
     Guru memang ditakdirkan harus mempunyai karakter yang hebat, mangku luhur, yaitu kesempurnaan, sehingga guru adalah manusia yang sungguh mulia. Dia selalu mengajak siswa menjadi betah belajar dan senang beraktivitas di sekolah, dia dapat membuat orang tua siswa menjadi nyaman dalam menunggu harapan, dia dapat mencetak para kader bangsa yang berkarakter dan berkualitas, dan dia sangat mengayomi. Dia tidak menggunjing kelemahan siswanya, tetapi dia adalah pribadi yang dapat mengembangkan kelemahan siswa menjadi sebuah keunggulan.
     Sungguh mulia tugas guru-guru kita, dicintai Allah, disayangi sesama, dan dihormati siswa. Guru yang selalu dirindukan oleh para siswanya disaat perjumpaan di hari senin pagi. Kelas menjadi sangat dinamik, variatif, dan menyenangkan karena karya seorang yang sungguh sangat karim budinya. Dia ini adalah guru yang akan selalu diingat jasanya, diluaskan rejekinya, dan disuburkan sumber pahalanya. Guru, sungguh mulia.

Penulis adalah Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS); dan Ketua Majelis Pendidikan Dasar Menengah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar