Rabu, 13 Oktober 2010

JATUHNYA TIGA KOTA DI ANDALUSIA

Awalnya Andalusia berada di bawah kekuasaan Bani Umayah. Namun setelah kekuasaan mereka berakhir, Andalusia dikendalikan beberapa kerajaan atas kesamaan klan alias mulku at thawaif.
Peristiwa proses jatuhnya tiga kota besar di Andalusia; Qulamariyah, Valencia, dan Toledo mengisahkan secara jelas sifat egois kelompok dari klan-klan yang begitu kuat. Tak jarang terjadi saling serang antar sesama Muslim sendiri.
Sebaliknya, terhadap penguasa-pengusa Kristen yang sebenarnya menjadi ancaman utama, mereka malah bersikap manis. Bahkan mereka selalu berusaha menghindari peperangan dengan penguasa Kristen dan lebih memilih membayar upeti. Semoga kita bisa mengambil pelajaran berharga dari peritiwa yang amat menyedihkan ini.

Jatuhnya Valencia 
(Kota Muslim, Diincar Kaum Muslim dan Kristen)

Dua pemerintahan Muslim bersaing untuk memperoleh bantuan dari kerajaan Kristen. Bani Hud meminta agar mereka membantu menyerang Valencia, sedangkan Valencia meminta perlindungan dari serangan Bani Hud.

Pada tahun 457 H, Fernando pemimpin Qisytalah dengan penuh percaya diri menyerang Valencia yang saat itu dipimpin oleh Abdul Malin bin Abdul Aziz. Keinginan menyerang Valencia, sesungguhnya sudah tumbuh sejak berhasil menduduki Qulamriyah dengan tanpa peperangan satu tahun sebelumnya.

PANGLIMA ISLAM PENAKLUK DUNIA

Meluasnya wilayah dakwah Islam tak lepas dari peran para panglima Islam. Dengan keberaian, kecerdasan dan semangatnya, mereka berhasil menaklukkan daerah-daerah baru dan tunduk kepada aturan Islam. Siapa saja mereka? Berikut diantara para panglima itu.

‘Uqbah bin Nafi’
‘uqbah bin Nafi’ dikenal pemuda pemberani dan cerdas dalam strategi dan taktik militer. Melihat kemampuan itu, Khalifah Mu’awiyah memberikan amanat kepada ‘Uqbah untuk memimpin tentara Islam menaklukkan wilayah Afrika.
Bersama 10 ribu pasukan yang dipimpin ‘Uqbah berhasil melakukan ekspansi wilayah keuasaan Islam dengan menakulkukkan seuruh Afika Utara. Penaklukkan ini diawali dari wilayah Tunia. Di tempat ini, ‘Uqbah bersama pasukannya membangun sebuah kota yang dikenal dengan sebutan Qairawan (Kairouan). Oleh ‘Uqbah, Qairawan dijadikan pusat pemerintahan Islam di Afrika Utara.
Setelah mengusai Tunisia, ‘Uqbah menaklukkan Kur, sebuah wilayah di Sudan. Di bawah komandonya pula, pasukan Islam mampu melakukan ekspansi sampai ke wilayah Maghrib Tengah (Aljazair). ‘Uqbah dibunuh ketika dalam perjalanan pulang ke Qairawan selepas beliau melakukan pertempuran di Algeria Timur pada tahun 684 M.

Khalid Bin Walid
Sebelum masuk Islam, Khalid sempat menjadi panglima perang kaum Quraisy yang terkenal dengan pasukan kavalerinya. Pasca perjanjian Hudaibiyah yang terjadi pada 628 M, Khalid memutuskan masuk Islam. Tiga tahun berselang, untuk pertama kalinya ia bergabung dalam pasukan Islam dalam pertempuran yang cukup penting, yakni pertempuran Mu’tah.
Dalam pertempuran tersebut, ia menjadi prajurit bisaa bersama 3.000 pasukan Madinah lainnya menghadapi sekitar 200 ribu pasukan Romawi Timur. Di tengah pertempuran yang berlangsung selama tujuh hari ini, ia ditunjuk menjadi panglima karena tewasnya tiga panglima yang sebelumnya telah ditunjuk, yaitu Zayd bin Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib, dan ‘Abdulah bin Rawahah. Di hari ketujuh perang berakhir dengan mundurnya kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini, Khalid mematahkan sembilan pedangnya yang menunjukkan betapa sengitnya pertempuran antar kedua belah pihak.
Khalifah Abu Bakar ‘Ash-Ashiddiq kembali meminta Khalid memimpin 18 ribu pasukan Muslim untuk berperang melawan pasukan Persia. Pasukan Muslim yang dipimpinnya berhasil membuat pasukan musuh bertekuk lutut dan menguasai wilayah Persia.

Shalahuddin Al-‘Ayubi

Kamis, 07 Oktober 2010

GURU DALAM KEMULIAAN


     Seorang guru agama terlihat sedang mengendalikan marah besarnya, karena seorang muridnya yang baru kelas dua SD belum juga menghafal Juz ‘Amma. Surat-surat pendek itu mestinya harus dihafalkan 2 bulan yang lalu, ternyata sampai hari ini belum juga hafal. Kemudian guru itu berkat, “Itu lihat teman-temanmu sudah pada hafal, kamu sendiri dan beberapa temanmu saja yang belum hafal.”
     Guru tersebut sudah lima belas tahun mengabdi, namun ia tidak pernah merasakan dan mengevaluasi pengalaman bahwa dinamika siswa selalu berubahan sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda di waktu, tempat, dan anak yang berbeda. Dia takut kehilangan jatidirinya sebagai seorang guru kalau murid yang diajarinya tidak pintar seperti kelas sebelah yang diajar guru lainya.
     Guru itu menganggap semua permaslahan siswa dapat diselesaikan dengan rumus umum, seperti penyelesaian rumus luasan pada dinding bidang empat persegi panjang. Dia tidak pernah menduga bahwa mencari luas daun jati dan luas sobekan kertas tidak dapat menggunakan rumus umum panjang kali lebar. Mungkin juga dia tidak pernah menduga bahwa penyelesaian linier hanya ada 10 buah dari jutaan permasalahan yang bersifat nonlinier. Mungkin juga si guru itu belum sempat merenung bahwa ada jutaan permasalahan di dunia yang hanya dapat diselesaikan dengan menggunakan metode case by case, bukan generalisasi atau linerisasi.