Bencana alam kini bukan lagi menjadi sesuatu yang asing bagi rakyat negeri ini. Ia tak ubahnya ibarat arisan yang datang silih berganti menghamipri kehidupan kita. Mulai dari bencana gempa bumi, tanah longsor, banjir, angin puting beliung, gunung meletus, tsunami, pencemaran air dan udara dan lain sebagainya.
Setiap bencana datang, tidak sedikit korban n resiko yang hrs ditanggung olh manusia, baik i2 korban dalam bentuk materiil maupun korban dalam bentuk imateriil. Seperti baru2 ini yang kita saksikan terhadap bencana tsunami di Mentawai, banjir bandang di Wasior serta letusan Gunung Merapi di Yogyakarta, Jawa Tengah yang telah memakan korban nyawa ratusan n korban materi yang tak terhingga.
Dengan rentetan bencana yang terjadi, pertanyaan kemudian yang muncul adalah, sejauh mana fenomena bencana negeri ini berpengaruh terhadap sikap n pemikiran masyarakat kita? Bagaimana wacana teologis masyarakat dalam menyikapi bencana dahsyat yang menimpa sekeliling mereka? Hal ini perlu dicermati karena bencana yang datang silih berganti tidak saja berdampak pd persoalan ekonomi, sosial, psikologi n politik. Tetapi jg sangat erat kaitannya dgn masalah teologi n yg menyaksikan bencana i2 sendiri.
Seperti yang pernah disinggung olh Karen Armstrong ketika melihat perang dunia II. Menurutnya sebagaimana yang dikutip olh Prof. DR. Ahmad Syafi'i Maarif, mantan ketua umum PP Muhammadiyah, sejak meledaknya PD (Perang Dunia) II banyak rakyat Inggris yg tidak mau lagi percaya kpd Tuhan. Mengapa perang dibiarkan berkecamuk yg menimbulkan bencana yg demikian dahsyat, jk Tuhan memang Maha Kuasa? Karena pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan memuaskan, maka sebagian rakyat Inggris meninggalkan Tuhan n tidak mau hirau lagi dgn agama. Mereka tidak berfikir bahwa peperangan adalah akibat ulah manusia, bukan kehendak Tuhan. Tetapi, karena penderitaan begtiu berat yang dirasakan, lalu orng mencari jalan keluar termudah dengan menyalahkan Tuhan.
Olh karena i2, setiap bencana yang terjadi apapun i2 bentuk bencananya akan mempengaruhi cara berpikir keagamaan or teologis seseorang sebagaimana gambaran rakyat Inggris di atas. Paling tidak, untuk konteks di negeri kita saat ini. Jg terdapat berbagai macam pola teologis berkaitan dengan bencana alam yang terjadi. Khamami Zada melihat berbagai bencana alam yang terjadi saat ini memunculkan sikal jabariyah seseorang yang sangat luar biasa, dimana semua bencana yang terjadi mrpkn takdir Tuhan yang dikaitkan dengan azab Tuhan kepada manusia yang berbuat maksiat or dosa. “Ada spekulasi teologis yang meyakini bahwa smua bencana yang terjadi ini akibat perbuatan yang dilakukan masyarakat Indonesia n tidak mengindahkan titah Ilahi. Dengan nada sinis, banyak yang berpendapat bahwa bencana yang terus-menerus terjadi melanda bangsa Indonesia akibat kelalaian kita terhadap Tuhan, sehingga Dia mengirimkan azabnya kepada umat manusia yang tidak mau mematuhi perintah Tuhan” katanya.
Hal yang sama jg diungkapkan Rizal Pangabean, menurutnya, kebanyakan masyarakat di tanah air, masih memiliki kecenderungan teologi yang fatalistik, yang menganggap bahwa bencana yang terjadi bagian dari musibah, azab, or ujian dari Tuhan. Bahkan hingga akhirnya, banyak orng mengkambing hitamkan Tuhan karena smua bencana yang terjadi akibat takdir Tuhan. Berbagai pandangan di atas tentu boleh2 saja. Akan tetapi konsepsi teologis yang seperti ini tentu saja tidak bisa menjelaskan sepenuhnya tentang adanya keterkaitan bencana dengan azab, meskipun konsepsi ini pernah terjadi pada masa Nabi Nuh yang mengazab umatnya dengan banjir, Nabi Luth yang menghancukan umatnya dengan hujan batu, n Nabi Musa yang menghukum Fir’aun n pengikutnya diterjang gelombang laut. Akan tetapi jk kita melihat sejak masa Nabi Muhammad saw, tidak ditemukan Nabi yang menghukum umatnya dengan berbagai bencana tersebut.
Maka, oleh karenanya wajar dan tepatkah setiap bencana yang terjadi kepada manusia, selalu berhubungan dengan pandangan di atas? Yang menilai smua adalah takdir Allah n bentuk azab Tuhan kepada manusia? Memang jk kita melihat dalam ranah teologis, bencana or musibah yang menimpa umat manusia merupakan kehendak mutlak Tuhan, yang kemudian sering disebut dengan istilah takdir. Akan tetapi hrs disadari bahwa Tuhan tidak akan pernah berbuat aniaya terhadap hambaNya. Hal ini ditegaskan dalam sejumlah firmanNya. Smua yang terjadi n menimpa manusia mrpkn akibat dari ulah manusia i2 sendiri. Termasuk halnya dengan bencana yang diakibatkan olh kerusakan alam yang begitu parah sebagaimana yang telah disinggung dalam Al-Qur'an surat Ar Ruum ([30]:41). Yang artinya, “Telah tampak kerusakan di daratan dan laut disebabkan perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagaian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Jd tidak dipungkiri, bahwa Tuhan punya hukumNya sendiri. Tetapi, seperti ditegaskan dalam sejumlah referensi agama, manusia diberikan ruang gerak untuk mengubah kehidupannya. Untuk menjadi lebih baek dari sebelumnya, menghindari kemungkinan terjadinya bencana, dan mengantisipasi hal terburuk yang memungkinkan menimpanya. Dengan demikian, dalam perspektif teologinya, pelbagai fenomena bencana alam yang terjadi akhir2 ini, merupakan “takdir” Tuhan akibat ulah manusia. Dalam artian, Tuhan menjalankan hukumNya sesuai dengan tingkah laku manusia. Hal ini menurut Khammai Zada yang sering tidak disadari olh manusia. Sehingga, setiap kali terjadi bencana, alih-alih kita instrospeksi diri, menyadari kesalahan kita, yang terjadi jusrtu saling tuding n menyalahkan orang lain dan bahkan menyalahkan Tuhan sendiri.
Karena itulah, menurut Zada, teologi yang mesti dibangun setelah sekaian banyak bencana yang terjadi adalah teologi rekonstruktif, yang mencoba memahami gejala alam sebagai sesuatu yang berjalan di dalam hukum alam, sekaligus mencoba memahami apa kehandak Tuhan. Kombinasi antara pertimbangan sosial dengan teologis inilah yang nantinya akan melahirkan sikap sekaligus mencari jalan kaluar atas terjadinya masalah.
Sementara, dalam pandangan terpisah, Agus Muhammad, menyebutkan bahwa cara padang teologis menyebutkan bahwa cara pandang teologis fatalistik memadai untuk memberi inspirasi bagi upayaupanya pencegahan dan pengurangan resiko bencana. “Upaya seperti ini tentu saja baik, akan tetapi tdk cukup untuk mengatasi berbagai masalah serius yang dihdapi korban bencana alam, mulai dari hancurnya rumah serta isinya hingga ancaman kesehatan karena fasilitas yang seba minim. Ituah sebabnya, dalam menghadapi bencana, dibutuhkan teologis dengan perspektif yang lebih emansipatoris, lebih berpihak kepada korban dan proaktif dalam melakukan upaya2 dan pengurangan resiko bencana,” katanya.
Jd dalam rangka mengurangi dampak dan resiko bencana, manusia selayaknya memberi keberimbangan terhadap faham jabariyah yang selama ini telah dibangun dengan teologi yang rekonstruktif, sehingga kedepannya stiap manusia akan sadar, bahwa setiap perlaku kejahatan kita terhadap alam, adlh cara kita sendiri untuk mendatangkan bencana, tidak serta merta dituduhkan kepada Tuhan untuk memberikan azab kepada manusa. Dan cara pandang ini, sekaligus jg dapat menjadi introspeksi bagi pemerintah yang cenderung lalai dalam mengantisipasi resiko bencana terjadi, tidak ujuk-ujuk dikaitkan dengan takdir maupun hukum Tuhan karena azab kepada manusia, namun jg dilihat dari kebijakan dan komitmen pemerintah sendiri terhadap pelestarian ala mini.
Sehingga dengan cara seperti ini, menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, ketika menusia ditimpa bencana, kita tidak boleh bersikap sebagaimana rakyat Inggris di atas? Bencana yang terjadi hrs disikapi dengan sikap introspeksi kita terhadap perilaku dan kebijakan pemerintah selama ini terhadap pengelolaan alam itu sendiri. “Tapi sejauh pantauan, sikap teologis umat Islam dan rakyat Indonesia pada umumnya tidaklah sampai menyalahkan Tuhan, sekalipun bencana itu datang beruntun menimpa mereka. Dalam menyikapi tsunami di Aceh, gempa Yogya, gempa Padang, letusan gunung Merapi, tsunami Mentawai, dan 1.001 bencana lainnya, rakyat Indonesia masih cukup sopan. Bahkan sebagian mereka malah menyalahkan diri sendri yang kurang mematuhi perintah Tuhan, sebab perintah itu dipercaya semata-mata untuk kebaikan manusia".
24 Zulhijah – 8 Muharam 1431 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar