Rabu, 24 November 2010

SUMBER HUKUM PELIBATAN AKAL DALAM AKTIVITAS IJTIHAD MUHAMMADIYAH

Menyadari kenisbian daya akal, Majelis Tarjih tetap melibatkan akal untuk memahami nash Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Baik yang menyangkut masalah ibadah maupun duniawiyah. Muhammadiyah membedakan antara dunia, agama, dan ibadah. Segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi saw, yaitu perkara kebijaksanaan manusia, menurut Muhammadiyah, disebutkan “dunia”. Sedang masalah agama adalah apa yang diturunkan Allah dalam Al-Qur'an dan yang disebutkan dalam Sunnah yang shahih. Berupa perintah-perintah dan larangan serta petunjuk untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Pengertian ibadah, menurut Muhammadiyah, adalah ber-taqarrub kepada Allah, dengan jalan mentaati perintah-perintahNya, dan menjauhi larangan-LaranganNya, dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah.
Dalam perlibatan akal, muncul konsep ta’abbudi dan ta’aqquli. Ta’abbudi adalah perbuatan ubudiyah yang harus dilakukan oleh mukallaf sebagai wujud penghambaan kepada Allah tanpa boleh ada enambahan atau pengurangan. Perbuatan ta’abbudi tidak dibenarkan untuk dianalisa secara rasional. Menurut al-Syathibiy, karena ta’abbudi merupakan perbuatan yang sudah ditentukan oleh syar’i. Batas-batasnya tidak dapat ditambah atau dikurangi (Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa Al-Syathibiy, 1991: 228-230)
Ta’aqquli adalah perbuatan-perbuatan ubuddiyah mukallaf yang bersifat ta’aqquli, berkembang dan dinamis. Perbuatan ta’aqquli dapat dianalisis secara rasional. Al-Syathibiy memberikan sifat-sifat ta’aqquli sebagai dinamis dan dapat berubah sesuai dengan keberadaan ‘illahi dan maslahat (Al-Syathibiy, 1991: 232-235). Dalam menjelaskan apa dunia, Muhammadiyah mendiskripsikan sebagai perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/ urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia (lihat HTTP: 276).

Akan tetapi, perlibatan bukan tidak tanpa batas. Dalam bidang akidah, Majelis Tarjih akan mendahulukan makna zhahir daripada makna ta’wil dalam memahami nash, meski pemahaman ta’wil itu berasal dari sahabat. Untuk masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan akidah, prinsip mendahulukan nash daripada akal menurut Majelis Tarjih tidak harus diterapkan secara kaku. Sebaliknya, Majelis Tarjih memberikan kelenturan menggunakan prinsip tersebut. Terutama, dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi.
Di posisi mana Majelis Tarjih melibatkan akal tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya diperhatikan pola penaran yang digunakan Majelis tarjih dalam melakukan aktivitasnya ijtihatnya.
Sebagai yang telah dijelaskan dalam “Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih”, metode ijtihad yang ditempuh oleh Majelis Tarjih meliputi hal-hal berikut :
  1. Ijtihad Bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal. Baik karena belum jelas makna lafalzh yang dimaksud, maupun karena lafazh itu mengandung makna ganda ataupun ungkapan yang konteksnya mempunyai arti yang jumbuh (mutasyabih).
  2. Ijtihad Qiyasi, yaitu menyerangkan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah abru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena ada kesamaan ‘illah.
  3. Ijtihad Istishlahi, yaitu terhadap masalah yang tidak ditunjuk nash sama sekali adanya nash sama sekali secara khusus, maupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaannya (lihat buku Panduan Munas Tarjih ke-23:20)

Pola penalaran (istinbath) yang dipergunakn oleh Majelis Tarjih melputi 3 (tiga) manhaj: bayani, qiyasi, dan istishlahi.
Manhaj ijtihad yang berisikan upaya menafsirkan nas berdasarkan kaidah kebahasaan disebut sebagai penalaran bayani.
Istilah kedua, yaitu manhaj qiyasi dipergunakan oleh majeis tarjih bagi penalaran untuk hal-hal baru yang secara langsung tidak ditentukan nash atasnya. Kalau hanya memperhatikan dokuman tertulis ini saja tanpa dibarengi dengan pengamatan terhadap aktivitas ijtihad Majelis tarjih dalam berbagai masalah, akan muncul kesimpulan bahwa penggunaan ‘illah oleh Majelis tarjih dalam aktivitas ijtihadnya hanya sebatas pada ‘illah yang dipergunakan untuk mempertemukan asal dan furu’. Oleh karena itu, penggunaan istilah ijtihad qiyasi atau penalaran qiyasi akan dapat dibenarkan.
Akan tetapi, apabila terhadap dokumen tertulis itu juga dibarengi dengan pengamatan terhadap aktivitas ijtihad Majelis Tarjih, akan ditemukan bahwa ‘illah dalam aktivitas ijtihad Muhammadiyah tidak hanya dipergunakan untuk keperluan mempertemukan akal dan furu’ saja, melainkan juga dipergunakan secara langsung dengan hukum dan ‘illah istihsani. Dengan demikian, penggunaan istilah ijtihad atau penalaran tersebut, lebih tepat disebut penalaran ta’lili dan bukan penalaran qiyasi. Karena ‘illah yang dipergunakan ternyata tidak sebatas untuk keperluan mempertemukan untuk keperluan mempertemukan asal dan furu’, saja sebagaimana yang lazim ditemukan dalam penalaran qiyasi.
Penggunaan ‘illah dalam aktivitas ijtihad Muhammadiyah disetujui untuk hal-hal yang tidak bersangkutan dengan ibadah mahdhah dan tidak ada nash sharih atasnya (lihat HPT: 227-278).
Penggunaan aspek istishlahi atau kemaslahatan umat manusia sebagai dasar penetapan suatu hukum bagi masalah-masalah batu yang tidak mungkin dilakukan penalaran qiyasi atasnya, mencerminkan konsistensi Majelis Tarjih terhadap pandangan bahwa, kemaslahatan umat merupakan sesuatu yang harus diwujudkan (Fathurrahman Djamil, 1995:77). Karena memelihara kemaslahatan itu merupakan maqshid syari’ah. Dalam fatwa keharaman merokok, umpamanya, tampak komitmen Muhammadiyah dalam memelihara kemaslahatan ini. Pada amar fatwa disebutkan, “wajib hukumnya mengupayakan pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya suatu kondisi hidup sehat yang merupakan hal setiap orang dan merupakan bagian dari tujuan syariah (maqasaid al-syari’ah)”. Sebagai konsekuensi dari pandangan mengenai maslahat ini pula yang agaknya membuat Majelis Tarjih menerima saad al-zari’ah dalam aktivitasnya.
Penggunaan aspek istishlahi itu juga mencerminkan konsistensi sikap Majelis Tarjih terhadap perlibatan akal dalam persoalan yang dapat dikategorikan sebagai masalah dunia. Hal ini berarti Majelis Tarjih akan selalu mengoptimalkan penalaran rasional yang dinamis dan kreatif dengan menjadikan ruh syari’at (memelihara kemaslahatan umat manusia) sebagai bagian yang tak terpisahkan dengannya.
Dari pembahasan di atas dapat dikemukakan bahwa, Majelis Tarjih memasukkan jenis ijtihad ini ke dalam manhaj ijtihad untuk kategori penalaran bayani. Dengan demikian, dapat pula dikemukakan bahwa Majelis Tarjih telah memasukkan produk pemahaman terhadap nash dengan melibatkan akal sebagai produk ijtihad. Hal ini juga dikuatkan oleh satu tradisi yang dikembangkan oleh Majelis Tarjih untuk selalu melakukan kaji ulang terhadap berbagai masalah yang telah ditetapkan hukumnya.
Penempatan produk pemahaman terhadap nash ke dalam kategori produk ijtihad sebagai yang disebutkan di atas, agaknya juga dapat dikatakan sebagai sumbangan Majelis Tarjih dalam memberikan solusi bagi problema penganaktirian terhadap berbagai produk ijtihad yang dihasilkan dengan menggunakan pola penalaran ta’alili atau pola penalaran istishlahi. Kecenderungan yang selama ini berkembang di kalangan umat Islam, lebih menempatkan hukum produk ijtihad yang menggunakan pola penalaran bayani pada nilai yang relatif tinggi dibandingkan dengan hukum produk ijtihad yang menggunakan penalaran ta’alilii dan istishlahi (Al Yasa Abu Bakar: 16). Solusi yang disumbangkan oleh Majelis Tarjih merupakan upaya permulaan untuk menghilangkan kecenderungan memberikan nilai lebih dan yang bersikap diskriminatif terhadap berbagai produk ijtihad atas pertimbangan manhaj yang dipergunakan.
Sisi lain yang agaknya relevan untuk dikemukakan adalah, Majelis tarjih belum sepenuhnya berhasil  merumuskan manhaj ijtihadnya sendiri. Dalam hal ini, Majelis Tarjih masih menggunakan berbagai manhaj atau pola penalaran produk sistematisasi yang dilakukan oleh para imam madzhab terhadap berbagai manhaj ijtihad yang dilakukan oleh pendahulu mereka (imam mazhab).
Yang patut dierikan catatan dalam hal ini adalah, bahwa Majelis Tarjih relatif tidak mengikatkan diri pada manhaj atau pola penalaran tertentu. Semua manhaj atau pola penalaran hasil sistemisasi para imam mazhab dipergunakan oleh Majelis tarjih dalam aktivitas ijtihadnya sepanjang hal itu memang diperlukan. Dalam penerimaan prinsip ijma’, qiyas dan penerimaan konsep ta’wil terhadap Al-Qur'an dan Al-Sunnah untuk maslaah-masalah hukum dan bukan masalah-masalah i’tiqadiyyah, Majelis Tarjih mempunyai banyak kemiripan dengan mazhab Hanabilah. Akan tetapi, memasukkan Muhammadiyah sebagai salah satu dari pengikut mazhab Hanabilah agaknya relatif sulit karena di saat yang sama Majelis Tarjih juga menerima manhaj atau pola penalaran istihsani, istishlahi dan saddu al-zari’ah, yang masing-masing dikembangkan para imam mazhab, terkadang dipergunakan secara simultan untuk menyelesaikan satu masalah. Akan tetapi, juga ditemukan penggunaan satu metode untuk menyelesaikan satu masalah dalam ijtihad Muhammadiyah.
Wallahu a’lam bi al-Shawab!

                              SUARA MUHAMMADIYAH 22 / 95 | 16 – 30 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar