Ada kabar dari Geoff Colvin, editor senior di Majalah Fortune. Penulis sekaligus dosen ini menyuguhkan data mengejutkan dalambukunya bertajuk Talent Is Overrated (2008). Buku tersebut menunjukkan betapa kita terlalu berlebihan memuja-muja bakat dan kejeniusan. Padahal, semua itu nyaris tak memberi manfaat apa-apa bagi masa depan anak, baik untuk meraih sukses maupn kebahagiaan.
Bakat dan kejeniusan bukanlah kunci utama meraih sukses, apa pun bidang yang dia tekuni. Kunci paling pokok untuk meraih sukses bukan bakat besar maupun kejeniusan. Bkan pula ketrampilan melakukan hal-hal yang dianggap luar biasa oleh pada umumnya. Bahkan pebisnis maupun intelektual sukses yang IQnya rata-rata. Bukan superior, apalagi jenius. Bahkan ada yang IQnya sedikit di bawah rata-rata, tetapi ia memiliki ketahanan mental yang luar biasa untuk belajar dan menghadapi berbagai kesulitan, termasuk hambatan fisik.
Sebagian orang sukses memang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Ia benar-benar memiliki kemampuan intelektual yang bagus, bukan sekedar mampu mempertunjukkan kebolehan yang bersifat langka. Tetapi harus dicatat bahwa mereka meraih sukses itu melalui kerja keras yang luar biasa hebat dalam belajar. Merak gigih belajar dan berlatih tatkala orang lain sudah terlelap. Kisah sukses Imam Syafi’i rahimahullah misalnya, bukan terutama soal kecerdasan, tetapi berkait erat dengan kemauan belajar yang luar biasa sekaligus kesanggupan untuk menghadapi kesulitan. Ini menjadikan seorang Imam Syafi’i yang ketika itu masih kanak-kanak, mampu bertahan untuk disebabkan ia tidak memiliki kemampuan sekonomi untuk belajar di kelas sebagaimana anak-anak lain. Kisah Imam Bukhari mencari sebuah Hadits adalah contoh lain tentang betapa berharganya kesediaan untuk menderita demi meraih apa yang diyakininya berharga. Ia telah menempuh perjalanan panjang yang sulit hanya untuk memperoleh sebuah hadits, meskipun Hadits itu akhirnya tidak ia perhitngan karena ternyata lemah.