Jumat, 17 Desember 2010

Bersiaplah untuk KECEWA

Ada kabar dari Geoff Colvin, editor senior di Majalah Fortune. Penulis sekaligus dosen ini menyuguhkan data mengejutkan dalambukunya bertajuk Talent Is Overrated (2008). Buku tersebut menunjukkan betapa kita terlalu berlebihan memuja-muja bakat dan kejeniusan. Padahal, semua itu nyaris tak memberi manfaat apa-apa bagi masa depan anak, baik untuk meraih sukses maupn kebahagiaan.
 Bakat dan kejeniusan bukanlah kunci utama meraih sukses, apa pun bidang yang dia tekuni. Kunci paling pokok untuk meraih sukses bukan bakat besar maupun kejeniusan. Bkan pula ketrampilan melakukan hal-hal yang dianggap luar biasa oleh pada umumnya. Bahkan pebisnis maupun intelektual sukses yang IQnya rata-rata. Bukan superior, apalagi jenius. Bahkan ada yang IQnya sedikit di bawah rata-rata, tetapi ia memiliki ketahanan mental yang luar biasa untuk belajar dan menghadapi berbagai kesulitan, termasuk hambatan fisik.
Sebagian orang sukses memang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Ia benar-benar memiliki kemampuan intelektual yang bagus, bukan sekedar mampu mempertunjukkan kebolehan yang bersifat langka. Tetapi harus dicatat bahwa mereka meraih sukses itu melalui kerja keras yang luar biasa hebat dalam belajar. Merak gigih belajar dan berlatih tatkala orang lain sudah terlelap. Kisah sukses Imam Syafi’i rahimahullah misalnya, bukan terutama soal kecerdasan, tetapi berkait erat dengan kemauan belajar yang luar biasa sekaligus kesanggupan untuk menghadapi kesulitan. Ini menjadikan seorang Imam Syafi’i yang ketika itu masih kanak-kanak, mampu bertahan untuk disebabkan ia tidak memiliki kemampuan sekonomi untuk belajar di kelas sebagaimana anak-anak lain. Kisah Imam Bukhari mencari sebuah Hadits adalah contoh lain tentang betapa berharganya kesediaan untuk menderita demi meraih apa yang diyakininya berharga. Ia telah menempuh perjalanan panjang yang sulit hanya untuk memperoleh sebuah hadits, meskipun Hadits itu akhirnya tidak ia perhitngan karena ternyata lemah.

Minggu, 05 Desember 2010

BENCANA: TAKDIR ATAU ULAH TANGAN MANUSIA ?


Bencana alam kini bukan lagi menjadi sesuatu yang asing bagi rakyat negeri ini. Ia tak ubahnya ibarat arisan yang datang silih berganti menghamipri kehidupan kita. Mulai dari bencana gempa bumi, tanah longsor, banjir, angin puting beliung, gunung meletus, tsunami, pencemaran air dan udara dan lain sebagainya.
Setiap bencana datang, tidak sedikit korban n resiko yang hrs ditanggung olh manusia, baik i2 korban dalam bentuk materiil maupun korban dalam bentuk imateriil. Seperti baru2 ini yang kita saksikan terhadap bencana tsunami di Mentawai, banjir bandang di Wasior serta letusan Gunung Merapi di Yogyakarta, Jawa Tengah yang telah memakan korban nyawa ratusan n korban materi yang tak terhingga.
Dengan rentetan bencana yang terjadi, pertanyaan kemudian yang muncul adalah, sejauh mana fenomena bencana negeri ini berpengaruh terhadap sikap n pemikiran masyarakat kita? Bagaimana wacana teologis masyarakat dalam menyikapi bencana dahsyat yang menimpa sekeliling mereka? Hal ini perlu dicermati karena bencana yang datang silih berganti tidak saja berdampak pd persoalan ekonomi, sosial, psikologi n politik. Tetapi jg sangat erat kaitannya dgn masalah teologi n yg menyaksikan bencana i2 sendiri.
Seperti yang pernah disinggung olh Karen Armstrong ketika melihat perang dunia II. Menurutnya sebagaimana yang dikutip olh Prof. DR. Ahmad Syafi'i Maarif, mantan ketua umum PP Muhammadiyah, sejak meledaknya PD (Perang Dunia) II banyak rakyat Inggris yg tidak mau lagi percaya kpd  Tuhan. Mengapa perang dibiarkan berkecamuk yg menimbulkan bencana yg demikian dahsyat, jk Tuhan memang Maha Kuasa? Karena pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan memuaskan, maka sebagian rakyat Inggris meninggalkan Tuhan n tidak mau hirau lagi dgn agama. Mereka tidak berfikir bahwa peperangan adalah akibat ulah manusia, bukan kehendak Tuhan. Tetapi, karena penderitaan begtiu berat yang dirasakan, lalu orng mencari jalan keluar termudah dengan menyalahkan Tuhan.
Olh karena i2, setiap bencana yang terjadi apapun i2 bentuk bencananya akan mempengaruhi cara berpikir keagamaan or teologis seseorang sebagaimana gambaran rakyat Inggris di atas. Paling tidak, untuk konteks di negeri kita saat ini. Jg terdapat berbagai macam pola teologis berkaitan dengan bencana alam yang terjadi. Khamami Zada melihat berbagai bencana alam yang terjadi saat ini memunculkan sikal jabariyah seseorang yang sangat luar biasa, dimana semua bencana yang terjadi mrpkn takdir Tuhan yang dikaitkan dengan azab Tuhan kepada manusia yang berbuat maksiat or dosa. “Ada spekulasi teologis yang meyakini bahwa smua bencana yang terjadi ini akibat perbuatan yang dilakukan masyarakat Indonesia n tidak mengindahkan titah Ilahi. Dengan nada sinis, banyak yang berpendapat bahwa bencana yang terus-menerus terjadi melanda bangsa Indonesia akibat kelalaian kita terhadap Tuhan, sehingga Dia mengirimkan azabnya kepada umat manusia yang tidak mau mematuhi perintah Tuhan” katanya.