KIM HYUNG-JUN
PROFESSOR IN CULTURAL ANTHROPOLOGY KANGWON NATIONAL UNIVERSITY, SOUTH KOREA
Ada istilah "Jam Karet". Sejak saya mengenal orang Jawa sekitar 15 tahun yang lalu, kebiasaan itu berlangsung terus. Seandainya terlambat 15 menit, itu dianggap cukup "tepat waktu", 30 menit, dianggap "wajar" dan 1 jam, "Syukurlah", karena bisa datang. Seandainya tidak jadi datang, "tak apa-apa", karena masih bisa bertemu besok. Kebiasaan itu membuat orang santai dan juga membawa keselamatan, karena dapat mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas. Tetapi, juga ada kelemahannya karena membuat orang kurang disiplin dan memboroskan waktunya oranga lain.
Beberapa minggu yang lalu, saya mempunyai janji pertemuan pagi-pagi di Solo. Tetapi, malam sebelumnya ada urusan yang harus diselesaikan dan saya baru siap tidur jam 2 pagi. Walaupun terasa lelah, saya tidak dapat langsung tidur, karena terus memikirkan keharusan bangun pagi-pagi. Dan muncul pertanyaan: bagaimana jika tidak dapat bangun tepat waktu? satu jawaban yang enak sekaligus jahat mucul, yaitu "tidak usah ke Solo". Karena saya berangkat dari Yogya, ketidakhadiran saya dapat dimaklumi. Seperti sering terjadi di Indonesia, keabsenan saya dapat dipamitkan dengan alasan bahwa adanya urusan yang lebih penting. Apalagi saya peneliti asing. Orang Indonesia cukup berlapang dada terhadap orang asing dan ketidakhadiran saya tidak akan menimbulkan masalah serius.
Tiba-tiba, saya ingat kisah KH. Ahmad Dahlan dalam bukunya Junus Salam. Di sini diceritakan bahwa Ki Bagus Hadikusumo yang diharapkan pergi ke Solo ternyata kembali dari stasiun karena ketingalan kereta api. Setelah mendengar ceritanya, KH. Ahmad Dahlan menegur beiau dan menyuruh beliau naik taksi ke Solo untuk memenuhi janji. Kisah itu membawa satu pertanyaan, yaiu tatkala saya bangun terlambat, apakah saya siap naik taksi? "Mungkin tidak", karena pasti repot dan ongkos yang mahal. Kalau begitu, kisah ini memberi pelajaran apa?
Pertama, kisah itu mengajarkan hal yang sering dibicarakan, yaitu tepat waktu dan jangan menginkari janji. Tetapi, kalau memikirkan lebih mendalam, ada makna luar biasa yang dapat ditemukan. Sekarangpun jarang sekali ada orang yang rela naik taksi dari Yogya ke Solo untuk memenuhi janji. Kalau begitu, tindakan itu merupakan hal yang sulit dibayangkan oleh orang awam. Apalagi, dilaksanakannya. Kisah ini menunjukkan pandangan dan sikap KH. Ahmad Dahlan yang betul-betul luar biasa dan revolusioner. Beliau berperang melawan adat-istiadat yang sering kali dianggap wajar tetapi tidak pantas dengan perkembangan jaman dan menyimpang dari ajaran Islam.
Jika membaca kisah-kisah lain, kita juga bertemu spirit revolusioner yang dicontohkan oleh KH. Ahmad Dahlan. Mengoreksi arah kiblat, mengoreksi hari lebaran (tanggal 1 Syawal), berdiskusi dengan pastor, mengadopsi sistem pendidikan modern dan lain-lain. Beliau "berperang" menghadapi banyak kekuasaan dan kebiasaan yang tidak lurus dan tidak sejalan dengan ajaran Islam. Hal yang lebih mengagumkan adalah beliau melakukan tindakan itu dengan cara bijaksana. Kiai Dahlan tidak pernah menyalahkan pihak lain, tidak bertindak agresif terhadap pihak lain, tidak memberi reaksi keras pada fitnah terhadapnya, tidak menganggap dirinya paling benar dan tidak sombong. Dengan sikap rendah hati, keramahan dan kearifan, beliau menyampaikan ajarannya. Hal ini menunjukkan bahwa KH. Ahmad Dahlan merupakan figur yang revolusioner sekaligus bijaksana, berani, tega, lurus sekaligus halus, sabar dan ramah.
Ketika melihat perkembangan Muhammadiyah, kiranya ada kecencerungan bahwa diantara dua sisi yang dicontohkan oleh KH. Ahmad Dahlan, ternyata satu sisi menjadi lebih dominan, yaitu sisi kebijaksanaan. Warga Muhammadiyah kiranya lebih sibuk mengerjakan apa yang sudah dikerjakan dengan bijaksana dan kesabaran daripada melakukan hal yang dapat membawa pertanggungjawaban berat, tantangan keras dan perubahan yang signifikan.Mungkin itu dikarenakan oleh kondisi sekarang yang berbeda dengan kondisi dulu ketika Indonesia dijajah oleh Belanda dan dikuasai oleh tradisi-tradisi kuno. Tetapi sulit dibanwah bahwa perkembangan zaman selalu membawa tantangan baru yang harus diatasi dengan keberanian, keteguhan, keinisiatifan dan kekreatifan.
Muktamar dan juga peringatan Satu Abad Muhammadiyah merupakan kesempatan emas untuk mengevauasi keberhasilan dan kekurangannya. Dengan merenungkan jiwa dan amal KH. Ahmad Dahlan secara utuh dan secara keseluruhan, angkah-langkah Muhammadiyah untuk abada kedua kan lebih mantap, dapat menjalankan dan memelihara spirit revolusoner dengan cara yang bijaksana.
Beberapa minggu yang lalu, saya mempunyai janji pertemuan pagi-pagi di Solo. Tetapi, malam sebelumnya ada urusan yang harus diselesaikan dan saya baru siap tidur jam 2 pagi. Walaupun terasa lelah, saya tidak dapat langsung tidur, karena terus memikirkan keharusan bangun pagi-pagi. Dan muncul pertanyaan: bagaimana jika tidak dapat bangun tepat waktu? satu jawaban yang enak sekaligus jahat mucul, yaitu "tidak usah ke Solo". Karena saya berangkat dari Yogya, ketidakhadiran saya dapat dimaklumi. Seperti sering terjadi di Indonesia, keabsenan saya dapat dipamitkan dengan alasan bahwa adanya urusan yang lebih penting. Apalagi saya peneliti asing. Orang Indonesia cukup berlapang dada terhadap orang asing dan ketidakhadiran saya tidak akan menimbulkan masalah serius.
Tiba-tiba, saya ingat kisah KH. Ahmad Dahlan dalam bukunya Junus Salam. Di sini diceritakan bahwa Ki Bagus Hadikusumo yang diharapkan pergi ke Solo ternyata kembali dari stasiun karena ketingalan kereta api. Setelah mendengar ceritanya, KH. Ahmad Dahlan menegur beiau dan menyuruh beliau naik taksi ke Solo untuk memenuhi janji. Kisah itu membawa satu pertanyaan, yaiu tatkala saya bangun terlambat, apakah saya siap naik taksi? "Mungkin tidak", karena pasti repot dan ongkos yang mahal. Kalau begitu, kisah ini memberi pelajaran apa?
Pertama, kisah itu mengajarkan hal yang sering dibicarakan, yaitu tepat waktu dan jangan menginkari janji. Tetapi, kalau memikirkan lebih mendalam, ada makna luar biasa yang dapat ditemukan. Sekarangpun jarang sekali ada orang yang rela naik taksi dari Yogya ke Solo untuk memenuhi janji. Kalau begitu, tindakan itu merupakan hal yang sulit dibayangkan oleh orang awam. Apalagi, dilaksanakannya. Kisah ini menunjukkan pandangan dan sikap KH. Ahmad Dahlan yang betul-betul luar biasa dan revolusioner. Beliau berperang melawan adat-istiadat yang sering kali dianggap wajar tetapi tidak pantas dengan perkembangan jaman dan menyimpang dari ajaran Islam.
Jika membaca kisah-kisah lain, kita juga bertemu spirit revolusioner yang dicontohkan oleh KH. Ahmad Dahlan. Mengoreksi arah kiblat, mengoreksi hari lebaran (tanggal 1 Syawal), berdiskusi dengan pastor, mengadopsi sistem pendidikan modern dan lain-lain. Beliau "berperang" menghadapi banyak kekuasaan dan kebiasaan yang tidak lurus dan tidak sejalan dengan ajaran Islam. Hal yang lebih mengagumkan adalah beliau melakukan tindakan itu dengan cara bijaksana. Kiai Dahlan tidak pernah menyalahkan pihak lain, tidak bertindak agresif terhadap pihak lain, tidak memberi reaksi keras pada fitnah terhadapnya, tidak menganggap dirinya paling benar dan tidak sombong. Dengan sikap rendah hati, keramahan dan kearifan, beliau menyampaikan ajarannya. Hal ini menunjukkan bahwa KH. Ahmad Dahlan merupakan figur yang revolusioner sekaligus bijaksana, berani, tega, lurus sekaligus halus, sabar dan ramah.
Ketika melihat perkembangan Muhammadiyah, kiranya ada kecencerungan bahwa diantara dua sisi yang dicontohkan oleh KH. Ahmad Dahlan, ternyata satu sisi menjadi lebih dominan, yaitu sisi kebijaksanaan. Warga Muhammadiyah kiranya lebih sibuk mengerjakan apa yang sudah dikerjakan dengan bijaksana dan kesabaran daripada melakukan hal yang dapat membawa pertanggungjawaban berat, tantangan keras dan perubahan yang signifikan.Mungkin itu dikarenakan oleh kondisi sekarang yang berbeda dengan kondisi dulu ketika Indonesia dijajah oleh Belanda dan dikuasai oleh tradisi-tradisi kuno. Tetapi sulit dibanwah bahwa perkembangan zaman selalu membawa tantangan baru yang harus diatasi dengan keberanian, keteguhan, keinisiatifan dan kekreatifan.
Muktamar dan juga peringatan Satu Abad Muhammadiyah merupakan kesempatan emas untuk mengevauasi keberhasilan dan kekurangannya. Dengan merenungkan jiwa dan amal KH. Ahmad Dahlan secara utuh dan secara keseluruhan, angkah-langkah Muhammadiyah untuk abada kedua kan lebih mantap, dapat menjalankan dan memelihara spirit revolusoner dengan cara yang bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar