Minggu, 02 September 2012

HATI YANG MATI

    Banyak orang di negeri ini begitu gampang berbuat kemunkaran tanpa perasaan bersalah. Melarikan uang rakyat, korupsi, menggasak kekayaan negara, menjadi mafia hukum, mafia anggaran, merusak sumberdaya alam, mengkhianati amanat rakyat, dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sikap tanpa merasa bersalah. Sudah tahu salah dan dikritik banyak orang, masih pula bebal. Dikritik jangan membangun gedung-gedung megah yang tak diperlukan, ketika rakyat kecil kian susah, masih juga memaksakan. Lalu, di mana hati nurani atau kalbu yang fitri dalam dirinya?
     Kebaikan sungguh menjadi barang mahal di negeri ini, sementara keburukan begitu rupa murah. Bahkan, antara benar dan salah, baik dan buruk, pantas dan tidak pantas banyak dibikin kabur. Palsu memalsu, mengelak dakwaan, mengaku sakit padahal sehat, bahkan mengaku lupa ingatan permanen menjadi pemandangan umum. Adakah mereka masih memiliki nurani? Nurani yang masih mampu berkata jujur, benar, baik, tulus, dan autentik.
     Pada suatu kali Nabi didatangi Washibah bin Ma’bad dan ditanya tentang kebaikan. Nabi bersabda, “Mintalah pertimbangan pada hatimu, kebaikan itu sesuatu yang menyebabkan jiwa menjadi tenang dan menjadi tenang pulalah hati. Adapun dosa ialah sesuatu yang terasa dalam diri dan apa-apa yang meragukan dalam dada meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya”.
     Tapi, di tengah banyak orang hidup penuh ambisiambisi berlebihan untuk meraih materi, kedudukan, dan kepentingan duniawi apakah hati nurani masih mau didengarkan suaranya yang jernih. Ketika hasrat-hasrat duniawi begitu membuncah melampaui takaran, biasanya suara hati sangatlah lirih dan sering tidak didengar. Hati bahkan lama kelamaan menjadi barang asing dalam diri, yang sulit dikenali meskipun bersarang dalam diri sendiri. Suara hati dianggap sebagai penghambat, penghalang, dan menjadi musuh. Manusia kadang memusuhi hatinya ketika hasrat-hasrat hewaniyah mengalahkan kepentingan-kepentingan yang fitri dan bersahaja. Al-Qur’an menyebutnya orang-orang yang memiliki hati, tetapi tak mampu memahaminya, fahum qulubun la yafqahuna biha. Manusia berjasad perkasa dan terhormat, tetapi perangainya kerdil, lumpuh, dan hina laksana hewan. Hewan itu tak memiliki daya saring ruhaniyah atau qalbiyah, apa yang diinginkannya diburu dengan sepenuh nafsu, tak peduli benar atau salah, baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, yang penting hajat terpenuhi.
     Hukum yang diagung-agungkan pun dengan mudah disiasati, dibohongi, dipermainkan, dan dirusak bahkan oleh para penegak hukum sendiri. Jika penjahat menyiasati dan mengelak dari hukum tentu lumrah adanya, karena mana ada pelanggar hukum rela hati untuk dihukum. Namun manakala para penegak hukum yang semestinya menjadi penjaga di garda paling depan mempermainkan hukum, maka betapa parahnya sebuah negeri. Ibarat pagar makan tanaman, yang tentu sangat piawai merusaknya. Akibatnya hukum pun menjadi serba tebang pilih, tajam ke bawah (orang-orang kecil) tetapi tumpul ke atas (orang-orang berkedudukan tinggi). Itulah ketika para penegak hukum dan abdi hukum kehilangan suara hati nurani yang jernih.
     Tatkala hati tak pernah didengar aspirasinya, sedang perangai buruk dan munkar dalam sangkarbesi nafsu kian menguasai diri, ketika itulah lama kelamaan hati itu akan beku, bahkan menjadi mati. Hati dalam wujud segumpal darah (mudhghah) memang masih utuh, namun hati nurani yang selalu bersuara fitri sejatinya mati. Sufi ternama, Ibrahim ibn Adham, seperti dinukilkan Muhammad Amin al-Jundi mengemukakan hati yang mati disebabkan oleh sepuluh perkara, yang membuat para hamba tak dikabulkan doanya oleh Allah.
     Apa saja sepuluh perkara yang menyebabkan kematian hati? Pertama, manusia tahu hak-hak Allah tetapi tidak mau menunaikannya. Kedua, mengaku mencintai Rasulullah namun tidak mengikuti Sunnahnya. Ketiga, membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengamalkan isinya. Keempat, makan dari rizki Allah namun tidak mensyukurinya. Kelima, mengatakan setan sebagai musuh tetapi tidak memusuhinya. Keenam, meyakini surga itu benar adanya namun tidak berusaha untuk mencapainya. Ketujuh, mengakui adanya neraka tetapi tidak berusaha selalu menjauhinya. Kedelapan, meyakini kematian pasti datang tetapi tidak bersiap-siap menghadapinya. Kesembilan, bangun tidak sibuk mencari aib orang lain dan lupa mencari kesalahan diri. Kesepuluh, ikut mengubur orang mati, tetapi tidak mengambil pelajaran dari mereka. Sungguh, tak mudah menghidupkan hati ketika sudah beku dan mati.





SM 17 / 96 | 2-16 SYAWAL 1432 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar