Rabu, 07 Juli 2010

KAMPUNG KAUMAN, RIWAYATMU KINI


Di kampung kecil inilah ormas Islam Muhammadiyah lahir, diiringi munculnya tradisi belajar yang akhirnya melahirkan banyak ulama dan ilmuwan.

     Menelusuri Kota Yogyakarta yang terkenal dengan kota pelajar, serasa tidak lengkap sebelum menikmati suasana kampung Kauman Yogyakarta. Lokasinya sangat strategis karena berada di sebelah barat alun-alun utara Kraton Yogyakarta, sehingga mudah terjangkau, meskipun faktanya banyak orang yang melewatkan kunjungannya ke tempat ini.
     Sepintas lalu, tidak ada yang istimewa dari kampung ini. Namun saat memasuki gerbang utama kampung yang mirip benteng itu, saya mulai disuguhi pemandangan yang berbeda dengan kampung pada umumnya. Masjid Gedhe Kauman merupakan bangunan pertama yang tampak sebelum memasuki kawasan rumah-rumah penduduk. Maklum, dalam sejarah terbentknya kampung ini, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan masjid yang merupakan salah satu bagian dari konsep kota Islam di Jawa. Ada Kraton Yogyakarta, alun-alun, dan ada pula masjid yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
     Demi memakmurkan masjid inilah, Sultan Hamengkubuwono I lalu mengumpulan ulama-ulama di sekitarnya untuk tinggal di sekitar masjid. Tidak saja ahli agama atau Ketib, yang menerap di tempat tersebut, dan masing-masing mendiarikan langgar yang berfungsi sebagai pesantren, namun Raja Yogyakarta saat itu juga menyiapkan abdi dalem yang berjumlah 40 orang untuk memakmurkan masjid.
     Oleh karena yang tinggal di sekitar masjid merupakan orang-orang yang menegakkan agama Islam, maka masyarakat sekitar lalu menyebutnya sebagai qaaimuddin, yang diucapkan dengan lidah jawa pakauman. Jadiah nama kampung ini lebih dikenal dengan istilah kauman.
     Penasaran dengan situasi di dalam kampung Kauman, saya pun beranjak menyusuri gang-gang sempit ke arah barat daerah tersebut. Lebar jalannya sekitar dua meter membuat kendaraan roda empat tidak dapat masuk, sementara roda dua hanya bisa dituntun sebagaimana peraturan yang ditempelkan di depan gapura. Dan memang seluruh jalan yang ada di kampung Kauman hanya memiliki luas sekitar satu hingga dua meter.
     Tepat di belakang Masjid Gedhe Kauman, terlihat tulisan makam pahlawan nasional Nyai Ahmad Dahlan. Disinilah istri pendiri Muhammadiyah itu dimakamkan. Tapi jangan salah sangka. Bila umumnya tokoh nasional dimakamkan bersama istri atau suaminya, namun KH. Ahmad Dahlan justru dimakamkan di tempat lain, tidak bersama istri yang selama ini mendampinginya daam mendakwahkan Islam.

Senin, 05 Juli 2010

KH. DAHLAN SANG REVOLUSIONER YANG BIJAKSANA

KIM HYUNG-JUN
PROFESSOR IN CULTURAL ANTHROPOLOGY KANGWON NATIONAL UNIVERSITY, SOUTH KOREA
 
     Ada istilah "Jam Karet". Sejak saya mengenal orang Jawa sekitar 15 tahun yang lalu, kebiasaan itu berlangsung terus. Seandainya terlambat 15 menit, itu dianggap cukup "tepat waktu", 30 menit, dianggap "wajar" dan 1 jam, "Syukurlah", karena bisa datang. Seandainya tidak jadi datang, "tak apa-apa", karena masih bisa bertemu besok. Kebiasaan itu membuat orang santai dan juga membawa keselamatan, karena dapat mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas. Tetapi, juga ada kelemahannya karena membuat orang kurang disiplin dan memboroskan waktunya oranga lain.
      Beberapa minggu yang lalu, saya mempunyai janji pertemuan pagi-pagi di Solo. Tetapi, malam sebelumnya ada urusan yang harus diselesaikan dan saya baru siap tidur jam 2 pagi. Walaupun terasa lelah, saya tidak dapat langsung tidur, karena terus memikirkan keharusan bangun pagi-pagi. Dan muncul pertanyaan: bagaimana jika tidak dapat bangun tepat waktu? satu jawaban yang enak sekaligus jahat mucul, yaitu "tidak usah ke Solo". Karena saya berangkat dari Yogya, ketidakhadiran saya dapat dimaklumi. Seperti sering terjadi di Indonesia, keabsenan saya dapat dipamitkan dengan alasan bahwa adanya urusan yang lebih penting. Apalagi saya peneliti asing. Orang Indonesia cukup berlapang dada terhadap orang asing dan ketidakhadiran saya tidak akan menimbulkan masalah serius.
     Tiba-tiba, saya ingat kisah KH. Ahmad Dahlan dalam bukunya Junus Salam. Di sini diceritakan bahwa Ki Bagus Hadikusumo yang diharapkan pergi ke Solo ternyata kembali dari stasiun karena ketingalan kereta api. Setelah mendengar ceritanya, KH. Ahmad Dahlan menegur beiau dan menyuruh beliau naik taksi ke Solo untuk memenuhi janji. Kisah itu membawa satu pertanyaan, yaiu tatkala saya bangun terlambat, apakah saya siap naik taksi? "Mungkin tidak", karena pasti repot dan ongkos yang mahal. Kalau begitu, kisah ini memberi pelajaran apa?