Senin, 02 Mei 2011

KISAH DUA IBU

     Wajah ibu kuning perak, serupa cahaya bulan yang akhir-akhir ini sering dipandanginya di kala malam dari balik jendela bertirau ungu setengah terbuka. Ia berseloyor dengan punggung menyentuh sandaran dipan. Jemari kedua saling mengapit erat, bertengger di atas perut. Jemari itu bagai mengenggam sesuatu yang belum siap ia perlihatkan pada orang lain.
Telah bertahun-tahun ibu seperti ini.
      “Bimo, anakku,” kata ibu tiba-tiba.
     Aku tersentak. Ibu tahu aku sedang memperhatikannya.
     “Kemarilah. Ibu tahu engkau sering berada di sana."
Aku mendorong daun pintu perlahan, melangkah masuk dengan dipenuhi rasa ragu. Ibu melambaikan tangan. Setelah tak lagi ada jarak ia meraih tanganku, lalu mengusap kepalaku. Gerakannya lemah, namun aku merasakan rasa sayang yang sungguh dalam. Tubuhku terjamah cahaya bulan. Ternyata, rasanya hangat.
     “Baringkanlah kepalamu di pangkuan ibu", suara ibu sangat pelan. “akan ibu ceritakan sebuah kisah".
     Aku menuruti perintah ibu. Setelah lebih dari dua puluh tahun, baru kali ini aku kembali membaringan kepala di pangkuannya. Tangan ibu sehagat sinar bulan, tapi tak lama kemudian aku merasakan dua tetes air jatuh di sela-sela rambut.
     “Ibu.” Aku memeluknya tanpa mengangkat kepala.
     “Bimo, dengarkanlah,” suara ibu gemetar.
     Ibu lalu bercerita:
     Berpuluh-puluh tahun lalu, ada dua kakak beradik. Ning dan Neng. Mereka dianugerahi wajah yang cantik. Ning lebih penyabar dan lembut. Itulah mengapa orangtua mereka terlihat lebih sayang padanya.
Ketika remaja, ada anak orang kaya bernama Agil yang jatuh cinta pada Ning. Orangtua mereka telah saling setuju. Diam-diam Neng juga mencintai Agil. Tanpa sepengetahuan Ning, Neng berusaha mendekati Agil. Agar memiliki pesona di mata Agil, Neng malah pergi ke dukun untuk memasang susuk. Dukun itu juga memantrai Agil agar di setiap malam ia memimpikan Neng.

     Entah karena pengaruh susuk atau mantra dukun, Agil semakin dekat dengan Neng. Kedekatan mereka akhirnya memberi ruang pada setan-setan untuk membisikkan rayuan surga seharum bunga. Beberapa bulan kemudian perut Neng menggelembung. Itu merupakan aib. Agil dan Neng diusir oleh keluarga. Mereka pergi ke kota yang jauh. Tapi, diam-diam ibu Agil yang merasa kasihan terus mengirim uang hingga Agil bisa menopang kehidupannya sendiri.
     Seiring berjalannya waktu, Neng mulai menyadari kesalahan masa lalu. Ia juga didera kerinduan yang teramat dalam kepada keluarga. Ingin rasanya bertemu mereka – ayah, ibu, Ning – untuk memohon maaf. Sayang, sampai saat ini keberanian itu belum ada. Namun pemikiranya terus-menerus dihujani rasa bersalah, hingga akhirnya penyakit melumpuhkan tubuhnya dan ia hanya bisa berbaring sambil memandang alam raya dari balik jendela ketika senja mulai berkuasa. Semoga akan datang cahaya yang bisa memberinya ampunan dan mampu mencabut susuk-susuk dari wajahnya.
     “Neng adalah ibu, Bimo. Dan Agil adalah almarhum ayahmu.”
Kuduk berdiri. Detak jantung meninju dada. Aku semakin merasakan tetesan air kepala, membuatku semakin erat memeluk ibu. Sinar bulan seperti berubah abu-abu. Tubuhku tak lagi hangat, tapi berkeingat karena keterkejutan yang tiba-tiba. Ternyata aku anak haram. Tapi tak sedikit pun kebencian pada ibu muncul. Malah aku semakin iba padanya. Aku baru tahu nama asli ibu.
     “Ibu yakin, kakek dan nenekmu sudah meninggal,” suara ibu tersendat-sendat.
Itulah, jawaban yang aku tunggu-tunggu selama ini.
                                                                         *****
     Seribu satu perasaan muncul bergantian, mengalihkan kesadaranku hingga kondektur bis menutup pintu. Aku sedang menuju rumah kakek dan nenek, juga tante Ning. Sesekali aku buka buku kecil berisi catatan alamat mereka dan kata-kata permohonan maaf yang ditulis ibu. Aku sempat membatin mudah-mudahan mereka masih hidup dan mau memaafkan ibu, juga menerima diriku sebagai bagian dari keluarga besar mereka.
     Memasuki jalan tol bis melaju cepat. Pepohonan di sisi jalan seolah bergerak. Semakin lama semakin cepat hingga berubah menjadi garis-garis dengan warna-warna bergantian. Lambat laun mataku lelah dan kemudian tertutup. Ketika bangun aku melihat keremangan dari balik jendela. Pasti sudah maghrib. Aku segera shalat. Shalatku dipenuhi harapan semoga permohonan maaf ibu diterima keluarganya. Begitu menoleh ke kanan, aku melihat seorang wanita. Menurut perkiraanku umurnya sekitar lima puluh tahun. Ia tersenyum sangat ramah.
     Melihat aku selesai shalat, wanita itu menyodorkan getuk. Katanya itu adalah makanan kesukaan ia dan adik perempuannya. Sekilas aku melihat wajahnya. Masih ada sisa-sia kecantikan masa lalu. Bulu matanya lentik, mirip bulu mata ibu.
     “Mau ke mana, Nak?” ucapannya lembut sekali.
Aku menyebutkan nama daerah, tepatnya sebuah desa. Kulihat ia menganggukkan kepala. Melihat keramahannya tanpa sadar aku lalu menceritakan tujuan perjalananku, juga tentang ibu yang sedang sakit keras.
     “Kisah itu persis seperti yang dialami saudara ibu,” katanya.
     Aku diam sambil terus mengunyah getuk. Aneh, aku tertarik untuk terus memandangi wajahnya.
     Wanita itu lalu berkisah:
     Dulu di sebuah desa ada dua perempuan kakak beradik. Mereka sama-sama cantik, dan sebenarnya sama-sama disayang oleh kedua orng tua mereka. Sang kakak kemudian dilamar oleh suatu keluarga dan akan dinikahkan dengan anak laki-laki mereka satu-satunya. Tapi di kemudian hari anak laki-laki itu malah jatuh cinta dengan sang adik hingga terjadi sesuatu yang selama ini dianggap aib di desa itu. Kedua orang tua kakak beradik itu sangat kecewa dan selama dua hari tidak berbicara dengan sang adik. Hingga pada suatu hari lelaki dan sang adik pergi entah kemana.
Kedua orang tua dan sang kakak telah memaafkan sang adik. Mereka terus mencari keberadaannya namun tidak pernah ketemu hingga malaikat maut membawa ruh kedua orang tua itu.
     “Percayalah,” kata wanita itu, “saudara ibumu pasti sudah memberi maaf. Memaafkan kesalahan seseorang laksana melepaskan penderitaan, Nak.”
     Seketika bebanku sekaan tercabut.
   Keesokan hari, di pagi yang hampir buta, bis berhenti di sebuah terminal. Aku membereskan barang-barang sambil sekilas kulihat wanita itu telah turun. Aku lalu buru-buru mengejarnya. Begitu menginjak tanah, aku tak lagi melihatnya meskipun kupandangi seluruh sudut terminal seperti orang bingung. Aku keluar terminal dan menaiki angkutan kecil setelah bertanya pada polisi. Hampir dua setengah jam aku tiba di sebuah desa. Dari tempat itu tampak gunung di kejauhan.
     Aku melangkah menemui tukang ojek yang mangkal di sudut jalan dan bertanya tentang seorang wanita bernama Ning – tepatnya Ningsih – sambil menyodorkan secarik kertas berisi alamat rumahnya.
     “Ia meninggal subuh tadi, Mas.”
     “Innalillahi.”
     “Nanti selesai shalat Dluhur katanya akan dimakamkan.
     Aku segera minta diantarkan ke sana. Tak lama kemudian aku tiba di sebuah rumah bersih yang setengah dindingnya terbuat dari kayu. Banyak orang berkumpul di halaman. Tukang ojek segera mengenalkan aku dengan anak tante Ningsih, seorang lelaku berbadan kurus. Ia mempersilahkan aku masuk dan mengenalkan istrinya. Setelah itu aku langsung menceritakan semua. Tiba-tiba, ia memelukku erat. Lepas dari pelukannya kulihat ada air tergenang di matanya.
     “Ibu juga pernah cerita tentang Bulik Ningsih,” katanya. “Ia pernah bilang sangat kangen. Semua cerita sedih masa lalu telah dikubur.”
     “Apakah kakek dan enenk masih hidup?
     Ia menggeleng.
     Aku lalu diajak menemui jasad Tante Ningsih.
     “Boleh saya melihat wajah tante Ningsih?” Aku berbisik pada saudara sepupuku.
     Ia lalu mengangkat penutup wajah perlahan. Aku sudah membayangkan pasti wajahnya mirip ibu. Dua perempuan berwajah cantik. Begitu tersingkap, badanku langsung gemetar dan terasa dingin. Seperti ada batu es yang tiba-tiba menyentuh kudukku, lalu dengan cepat menjalar ke seluruh tubuh sepanjang tulang belakang. Wajah itu. Ya, wajah itu. Wajah wanita yang aku temui di dalam bis.



HAMZAH PUADI ILYAS
Dosen UHAMKA Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar