Menyadari kenisbian daya akal, Majelis Tarjih tetap melibatkan akal untuk memahami nash Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Baik yang menyangkut masalah ibadah maupun duniawiyah. Muhammadiyah membedakan antara dunia, agama, dan ibadah. Segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi saw, yaitu perkara kebijaksanaan manusia, menurut Muhammadiyah, disebutkan “dunia”. Sedang masalah agama adalah apa yang diturunkan Allah dalam Al-Qur'an dan yang disebutkan dalam Sunnah yang shahih. Berupa perintah-perintah dan larangan serta petunjuk untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Pengertian ibadah, menurut Muhammadiyah, adalah ber-taqarrub kepada Allah, dengan jalan mentaati perintah-perintahNya, dan menjauhi larangan-LaranganNya, dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah.
Dalam perlibatan akal, muncul konsep ta’abbudi dan ta’aqquli. Ta’abbudi adalah perbuatan ubudiyah yang harus dilakukan oleh mukallaf sebagai wujud penghambaan kepada Allah tanpa boleh ada enambahan atau pengurangan. Perbuatan ta’abbudi tidak dibenarkan untuk dianalisa secara rasional. Menurut al-Syathibiy, karena ta’abbudi merupakan perbuatan yang sudah ditentukan oleh syar’i. Batas-batasnya tidak dapat ditambah atau dikurangi (Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa Al-Syathibiy, 1991: 228-230)
Ta’aqquli adalah perbuatan-perbuatan ubuddiyah mukallaf yang bersifat ta’aqquli, berkembang dan dinamis. Perbuatan ta’aqquli dapat dianalisis secara rasional. Al-Syathibiy memberikan sifat-sifat ta’aqquli sebagai dinamis dan dapat berubah sesuai dengan keberadaan ‘illahi dan maslahat (Al-Syathibiy, 1991: 232-235). Dalam menjelaskan apa dunia, Muhammadiyah mendiskripsikan sebagai perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/ urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia (lihat HTTP: 276).